Senin, 02 November 2015

Drug Management Suplay



PENDAHULUAN
Selama bertahun tahun praktek profesi apoteker di Indonesia jauh dari interaksi dengan pasien. Apoteker lebih banyak mengelola manajemen pengadaan dan penyaluran (managing drug supply). Dari mulai seleksi, procurement, pengadaan sampai menjaga ketersediaan obat di sarana maupun outlet. Praktek ini terjadi terutama di komunitas baik rumah sakit maupun apotek. Issue tentang farmasi klinik yang mulai dikembangkan beberapa rumah sakit pendidikan pada awal tahu 1990-an seperti hilang ditelan hiruk-pikuknya pengadaan obat. Demikian pula konsep Pharmaceutical Care (PC) yang mulai menjadi wacana (discourse) menjelang millennium baru seperti kehilangan ruhnya untuk diimplementasikan. PC hanya sebatas wacana, menjadi bahan perdebatan serius di seminar dan juga diajarkan hingga berbusa-busa di bangku kuliah. Namun tetap tidak mampu merubah performa apoteker sebagaimana yang diinginkan oleh penggagas konsep Pharmaceutical Care.
Tidak ada yang salah jika apoteker concern pada managing drug supply, karena itu merupakan mata rantai quality assurance menjaga kualitas obat, tapi dengan mengerahkan segala sumber daya untuk mengelola managing drug supply dan melupakan bagaimana melakukan dispensing dengan "tindakan apoteker" untuk menjamin obat yang diterima pasien adalah tepat sesuai dengan keadaan pasien (tepat obat dan tepat dosis), digunakan oleh pasien pasien dengan benar, tepat aturan pakai, tepat serta menjamin pasien mematuhi aturan pakai dan mewaspadai kemungkinan terjadi efek samping adalah sebuah kesalahan yang fatal.


PEMBAHASAN
A.    Seleksi
         Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Untuk dapat menyeleksi suatu perbekalan farmasi yang nantinya akan direncanakan harus terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data yang dapat memberikan gambaran tentang kebutuhan perbekalan farmasi rumah sakit. Adanya proses seleksi obat mengurangi obat yang tidak memiliki nilai terapeutik, mengurangi jumlah jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat yang tersedia. Seleksi yang baik, penggunaan obat dan alat-alat kesehatan dapat diukur dengan baik apabila di rumah sakit dibentuk PFT (Panitia Farmasi dan Terapi), formularium rumah sakit dan standar terapi.
Proses penyeleksian perbekalan farmasi menurut WHO dapat didasarkan pada kriteria berikut :
1.      Berdasarkan pola penyakit dan prevalensi penyakit (10 penyakit terbesar).
2.      Obat-obat yang telah diketahui penggunaannya (well-known), dengan profil farmakokinetik yang baik dan diproduksi oleh industri lokal.
3.      Efektif dan aman berdasarkan bukti latar belakang penggunaan obat.
4.      Memberikan manfaat yang maksimal dengan resiko yang minimal, termasuk manfaat secara finansial.
5.      Jaminan kualitas termasuk bioavaibilitas dan stabilitas.
6.      Sedapat mungkin sediaan tunggal.
B.     Pengadaan
         Pengadaan adalah suatu pelaksanaan untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan di dalam fungsi perencanaan, penentuan kebutuhan, penentuan sistem pengadaan/tender, menjaga kestabilan penganggaran, menjamin kualitas obat, mengadakan penganggaran. Pengadaan dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dilakukan berdasarkan epidemiologi, konsumsi atau gabungan keduanya dan disesuaikan dana/budget yang ada untuk menghindari stock out yang menumpuk.
Adapun metode-metode pembelian obat dan alat-alat kesehatan di rumah sakit dapat dibagi menjadi :
1.      Tender terbuka (open tender), yaitu pembelian dengan nilai lebih dari 100 juta, dilakukan dengan pengumuman.
Keuntungan :
a.Stabilitas harga terjamin dan harga lebih murah.
b.      Persediaan/stock barang untuk jangka waktu tertentu terjaga (aman).
Kerugian :
a.       Proses lama (problem kekosongan obat)
b.      Membutuhkan tempat penyimpanan yang luas
c.       Resiko obat macet
2.      Tender tertutup (restricted tender), yaitu pembelian yang dilakukan melalui relasi saja.
3.      Kontrak (competitive negotiation), yaitu pembelian yang dilakukan dengan cara pendekatan langsung dengan rekanan untuk tawar-menawar demi mencapai persyaratan spesifik.
Keuntungan :
a.Bisa negosiasi harga
b.      Service delivery ditetapkan
Kerugian :
a.Prosesnya lama dalam negosiasi
4.      Langsung (direct procurement), yaitu pembelian langsung ke PBF senilai kurang dari 50 juta.
Keuntungan :
a.Harga tidak selalu murah
b.      Prosesnya lebih cepat
Kerugian :
a.Stabilitas harga tidak terjamin
b.      Administrasi banyak dan boros
         Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan suatu metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga, apabila ada dua atau lebih pemasok yang memenuhi syarat memasarkan suatu produk tertentu yang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan apoteker. Dalam memilih pemasok, apoteker harus mendasarkan pada kriteria berikut: harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman, mutu pelayanan, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan pengemasan. Akan tetapi, kriteria yang paling utama harus selalu ditempatkan pada mutu obat dan reputasi pemanufaktur. Selain dengan pembelian, pengadaan obat dan alat kesehatan dapat pula dilakukan dengan cara produksi (baik steril maupun non steril) dan sumbangan/droping atau hibah.
C.    Distribusi
         Distribusi obat adalah kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medik. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas sumber daya yang ada.
         Distribusi obat adalah tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Apoteker dengan bantuan Panitia Farmasi dan Terapi dan bagian keperawatan harus memberikan kebijakan dan prosedur yang lengkap, untuk distribusi yang aman dari semua obat dan perlengkapan yang berkaitan bagi penderita rawat inap/tinggal dan penderita rawat jalan. Distribusi obat bertujuan agar ketersediaan obat di rumah sakit tetap terpelihara dan mutu obat tetap stabil. Sistem distribusi obat ada 4 yaitu:
1.      Unit Dispensing Dose (UDD), yaitu obat diberikan per unit obat
2.      One Dailing Dose (ODD), yaitu obat diberikan per hari
3.      Floor stock, yaitu persediaan di ruangan
4.      Individual Praescription (IP), yaitu resep individu perorangan
         Sistem distribusi obat untuk rawat inap adalah ODD (One Dailing Dose), kelebihan dari sistem ini yaitu dapat mengurangi resiko biaya obat karena dapat mengontrol sudah berapa jumlah obat yang digunakan dan jika pasien boleh pulang dapat langsung diganti dengan IP (Individual Praescription). Sedangkan sistem distribusi obat untuk gawat darurat adalah floor stock, dimana semua obat yang dibutuhkan pasien tersedia dalam ruang tersebut atau pada setiap pos perawatan pasien. Dikombinasi dengan UDD (Unit Dispensing Dose) yaitu sistem pendistribusian obat untuk instalasi gawat darurat dalam pelayanan sekali pakai.
D.    Penggunaan
         Penggunaan merupakan kegiatan mulai dari pengambilan obat, peracikan sampai penyerahan pada pasien dengan malkukan skrining resep. Rumah sakit harus mengadakan prosedur rinci dan terdokumentasikan dalam pemberian obat. Untuk melakukan hal tersebut di atas perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1.      Semua obat yang harus diberikan oleh perawat  seperti memulai pemberian infus parenteral, pemberian semua obat i.v dan penambahan obat pada cairan parenteral yang mengalir harus didokumentasikan dan dilakukan oleh perawat yang terlatih dan memiliki  izin dari rumah sakit sesuai dengan undang-undang, dan peraturan kebijakan rumah sakit dalam pemberian obat tersebut.Begitupula dengan pemberian obat oleh terapis pernapasan dan selama situasi darurat juga harus dilakukan oleh tenaga ahli dan terdokumentasikan.
2.      Obat yang telah disiapkan untuk pemberian, jika tidak digunakan maka harus dikembalikan ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
3.      Obat harus diberikan sesuai dengan waktunya
4.      Penderita yang akan diberi obat harus diidentifikasi secara pasti atau positif dengan memeriksa setiap pengenal nama penderita atau nomor rumah sakit, atau cara lain seperti yang telah ditetapkan oleh kebijakan rumah sakit.
5.      Obat-obat parenteral yang tidak dicampur bersama dalam satu noodle harus disuntikkan pada tempat penyuntikan berbeda atau secara terpisah, disuntikkan ke dalam tempat penyuntikan dari perangkat pemberian dari suatu cairan i.v yang tersatukan.
6.      Instalasi Farmasi Rumah Sakit  harus menerima salinan dari semua laporan kesalahan obat atau kejadian lain yang berkaitan dengan obat

Selasa, 13 Oktober 2015

Hubungan Klasifikasi RS terhadap Jumlah TTK


Hubungan Klasifikasi RS vs Jumlah Tenaga Farmasi
Pada lingkup rumah sakit, bidang kefarmasian merupakan salah satu pelayanan penunjang klinik yang mutlak ada di sebuah rumah sakit. Oleh sebab itu jumlah tenaga kerja kefarmasian pada sebuah rumah sakit dapat mempengaruhi status klasifikasi dari rumah sakit itu sendiri.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi :
1.      Rumah Sakit Umum Kelas A;
2.      Rumah Sakit Umum Kelas B; 
3.      Rumah Sakit Umum Kelas C;
4.      Rumah Sakit Umum Kelas D.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan:
1.      Pelayanan;
2.       Sumber Daya Manusia; 
3.      Peralatan;
4.      Sarana dan Prasarana; 
5.      Administrasi dan Manajemen.

Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 56 tahun 2014 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit.
A.    Tenaga kefarmasian Rumah Sakit tipe A terdiri atas:
1.      1 apoteker sebagai kepala instalasi farmasi RumahSakit
2.      5 apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 tenaga teknis kefarmasian
3.      5 apoteker di rawatinap yang dibantu oleh paling sedikit 10 tenaga teknis kefarmasian
4.      1 apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2  tenaga teknis kefarmasian
5.      1 apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 tenaga teknis kefarmasian
6.      1 apoteker sebagai coordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian RumahSakit
7.      1 apoteker sebagai coordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

B.     Tenaga kefarmasian Rumah Sakit tipe B terdiri atas:
1.      1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2.      4 apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8 orang tenaga teknis kefarmasian
3.      4 orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8  orang tenaga teknis kefarmasian
4.      1 orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 orang tenaga teknis kefarmasian
5.      1 orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2  orang tenaga teknis kefarmasian
6.      1 orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian RumahSakit
7.      1 orang apoteker sebagai coordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

C.     Tenaga kefarmasian Rumah Sakit tipe C terdiri atas:
1.      1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2.      2 apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 4 orang tenaga teknis kefarmasian
3.      4 orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 orang tenaga teknis kefarmasian
4.      1 orang apoteker sebagai coordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di  rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

D.    Tenaga kefarmasian Rumah Sakit Tipe D terdiri atas:
1.      1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2.      1 apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 2 orang tenaga teknis kefarmasian
3.      1 orang apoteker sebagai coordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

Farmasi Satu Pintu


Pelayanan Farmasi Satu Pintu pada Rumah Sakit
Dana merupakan masalah strategis dalam pengembangan pelayanan farmasi bermutu. Dana untuk pengadaan obat selalu menjadi alasan yang dikemukakan RS pemerintah untuk membenarkan beroperasinya berbagai apotek swasta murni dan/atau apotik swasta milik RS sendiri. Hampir semua apotek ini tidak di bawah kendali instalasi farmasi sehingga mutu, keamanan penderita, dan harga obat di luar kendali instalasi farmasi. Keadaan ini tidak kondusif untuk melakukan pelayanan farmasi yang bermutu dan berspektrum luas. Oleh karena itu, pelayanan farmasi dengan sistem satu pintu mutlak dilaksanakan.
Pelayanan farmasi satu pintu adalah suatu sistem dimana dalam pelayanan kefarmasian itu sendiri menggunakan satu kebijakan, satu standar operasional (SOP), satu pengawasan operasional dan satu sistem informasi. Sistem pelayanan farmasi saatu pintu dalam arti instalasi farmasi sebagai pengelola tunggal perbekalan farmasi RS karena:
1.      Farmasi RS bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar di RS, baik rawat jalan maupun rawat inap.
2.      Farmasi RS bertanggung jawab atas pengadaan dan penyajian informasi obat siap pakai bagi semua pihak di RS, baik petugas kesehatan maupun pasien.
3.      Farmasi RS bertanggung jawab atas semua pekerjaan pelayanan kefarmasian di RS
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyelenggarakan pelayanan farmasi sistem satu pintu, antara lain:
1.      Jumlah unit pelayanan yang ada di RS. Hal ini berguna untuk merencanakan jumlah dan letak outlet apotek.
  1. Memperkirakan jumlah resep. Jumlah resep per hari pada jam sibuk/jam kerja dan luar jam kerja (khusus TJGD/IRD).
  2. Macam item obat yang diresepkan. Untuk menentukan fast and slows moving drug agar persediaan obat selalu ada. Hal ini sangat erat kaitannya dengan persediaan dana.
  3. Jumlah tenaga yang diperlukan untuk setiap outlet apotek. Agar tercapai tepat obat dan tepat waktu. Tersedia tenaga untuk unit dose dispensing.
  4. Tersedia tenaga farmasis klinik.

Dasar Hukum pelayanan Kefarmasian satu Pintu:
1.      SK Menkes Nomor 085/Menkes/Per/I/1989 tentang Penulisan Obat Generik di Instansi Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah, pasal 6 ayat 1-3
2.      SK Dirjen Pelayanan Medis Nomor 0428/ Yanmed/RSKS/SK/1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan SK Menkes Nomor 085/Men-kes/Per/I/1989 tentang Penulisan Obat Generik di Instansi Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah, Pasal 8 ayat 2-C pasal 9 ayat 1-4
- Persyaratan akreditasi pelayanan farmasi RS
Tujuan pelayanan Kefarmasian satu pintu
1.      Optimalisasi cakupan pelayanan obat gawat darurat, resep rawat jalan umum, rawat jalan Askes, rawat inap umum/Askes, obat operasi dan pelayanan obat masyarakat miskin.
2.      Meminimalisasi pemberian obat yg tidak tepat waktu, dan meminimalisasi medication error.
3.      Pasien safety 
4.      Peningkatan pelayanan asuhan kefarmasian.
5.      Optimalisasi pendapatan farmasi sehingga pendapatan RS meningkat & kesejahteraan pegawai RS bertambah.
6.      Sebagai salah satu sarana memperbaiki citra RS.
Sistem Pelayanan satu Pintu
1.      Sistem dimana Instalasi Farmasi RS memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan perbekalan farmasi.
2.      Berkewajiban mengelola obat secara berdaya guna dan berhasil guna.
3.      IFRS diharuskan membuat prosedur perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan pemantauan obat yang digunakan di rumah sakit.
4.      IFRS bertanggung jawab terhadap obat yang beredar di RS.
5.      Berkewajiban melaksanakan pengendalian pelayanan dan pemantauan penggunaan obat di rumah sakit.
6.      Apabila dalam pendanaan pengadaan obat melibatkan pihak ke tiga, maka tata kerja dan teknis layanan kefarmasian harus di bawah koordinasi IFRS.
7.      Satu kebijakan (kriteria pemilihan obat, penerapan sistem formularium).
8.      Satu sop (prosedur instruksi kerja, pelayanan).
9.      Satu pengawasan operasional (laporan rutin, money, koordinasi)
10.  Satu sistem informasi (sim, informasi logistik, informasi obat)
Keuntungan pelayanan farmasi satu pintu yaitu :
1.      Memudahkan monitoring obat
2.      Dapat mengetahui kebutuhan obat secara menyeluruh sehingga memudahkan perencanaan obat.
3.      Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian.
4.      Dapat dilaksanakannya pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua ruang rawat.
5.      Dapat dilaksanakan pelayanan informasi obat dan konseling obat baik bagi pasien rawat jalan maupun rawat inap.
6.      Dapat dilaksanakan monitoring efek samping obat oleh panitia dan terapi.
7.      Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di RS, baik obat generik, obat formularium, obat Askes dan lain-lain sesuai dengan program IFRS serta PFT.