Selasa, 13 Oktober 2015

Hubungan Klasifikasi RS terhadap Jumlah TTK


Hubungan Klasifikasi RS vs Jumlah Tenaga Farmasi
Pada lingkup rumah sakit, bidang kefarmasian merupakan salah satu pelayanan penunjang klinik yang mutlak ada di sebuah rumah sakit. Oleh sebab itu jumlah tenaga kerja kefarmasian pada sebuah rumah sakit dapat mempengaruhi status klasifikasi dari rumah sakit itu sendiri.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi :
1.      Rumah Sakit Umum Kelas A;
2.      Rumah Sakit Umum Kelas B; 
3.      Rumah Sakit Umum Kelas C;
4.      Rumah Sakit Umum Kelas D.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan:
1.      Pelayanan;
2.       Sumber Daya Manusia; 
3.      Peralatan;
4.      Sarana dan Prasarana; 
5.      Administrasi dan Manajemen.

Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 56 tahun 2014 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit.
A.    Tenaga kefarmasian Rumah Sakit tipe A terdiri atas:
1.      1 apoteker sebagai kepala instalasi farmasi RumahSakit
2.      5 apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 tenaga teknis kefarmasian
3.      5 apoteker di rawatinap yang dibantu oleh paling sedikit 10 tenaga teknis kefarmasian
4.      1 apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2  tenaga teknis kefarmasian
5.      1 apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 tenaga teknis kefarmasian
6.      1 apoteker sebagai coordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian RumahSakit
7.      1 apoteker sebagai coordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

B.     Tenaga kefarmasian Rumah Sakit tipe B terdiri atas:
1.      1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2.      4 apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8 orang tenaga teknis kefarmasian
3.      4 orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8  orang tenaga teknis kefarmasian
4.      1 orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 orang tenaga teknis kefarmasian
5.      1 orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2  orang tenaga teknis kefarmasian
6.      1 orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian RumahSakit
7.      1 orang apoteker sebagai coordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

C.     Tenaga kefarmasian Rumah Sakit tipe C terdiri atas:
1.      1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2.      2 apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 4 orang tenaga teknis kefarmasian
3.      4 orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 orang tenaga teknis kefarmasian
4.      1 orang apoteker sebagai coordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di  rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang  jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

D.    Tenaga kefarmasian Rumah Sakit Tipe D terdiri atas:
1.      1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2.      1 apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 2 orang tenaga teknis kefarmasian
3.      1 orang apoteker sebagai coordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

Farmasi Satu Pintu


Pelayanan Farmasi Satu Pintu pada Rumah Sakit
Dana merupakan masalah strategis dalam pengembangan pelayanan farmasi bermutu. Dana untuk pengadaan obat selalu menjadi alasan yang dikemukakan RS pemerintah untuk membenarkan beroperasinya berbagai apotek swasta murni dan/atau apotik swasta milik RS sendiri. Hampir semua apotek ini tidak di bawah kendali instalasi farmasi sehingga mutu, keamanan penderita, dan harga obat di luar kendali instalasi farmasi. Keadaan ini tidak kondusif untuk melakukan pelayanan farmasi yang bermutu dan berspektrum luas. Oleh karena itu, pelayanan farmasi dengan sistem satu pintu mutlak dilaksanakan.
Pelayanan farmasi satu pintu adalah suatu sistem dimana dalam pelayanan kefarmasian itu sendiri menggunakan satu kebijakan, satu standar operasional (SOP), satu pengawasan operasional dan satu sistem informasi. Sistem pelayanan farmasi saatu pintu dalam arti instalasi farmasi sebagai pengelola tunggal perbekalan farmasi RS karena:
1.      Farmasi RS bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar di RS, baik rawat jalan maupun rawat inap.
2.      Farmasi RS bertanggung jawab atas pengadaan dan penyajian informasi obat siap pakai bagi semua pihak di RS, baik petugas kesehatan maupun pasien.
3.      Farmasi RS bertanggung jawab atas semua pekerjaan pelayanan kefarmasian di RS
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyelenggarakan pelayanan farmasi sistem satu pintu, antara lain:
1.      Jumlah unit pelayanan yang ada di RS. Hal ini berguna untuk merencanakan jumlah dan letak outlet apotek.
  1. Memperkirakan jumlah resep. Jumlah resep per hari pada jam sibuk/jam kerja dan luar jam kerja (khusus TJGD/IRD).
  2. Macam item obat yang diresepkan. Untuk menentukan fast and slows moving drug agar persediaan obat selalu ada. Hal ini sangat erat kaitannya dengan persediaan dana.
  3. Jumlah tenaga yang diperlukan untuk setiap outlet apotek. Agar tercapai tepat obat dan tepat waktu. Tersedia tenaga untuk unit dose dispensing.
  4. Tersedia tenaga farmasis klinik.

Dasar Hukum pelayanan Kefarmasian satu Pintu:
1.      SK Menkes Nomor 085/Menkes/Per/I/1989 tentang Penulisan Obat Generik di Instansi Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah, pasal 6 ayat 1-3
2.      SK Dirjen Pelayanan Medis Nomor 0428/ Yanmed/RSKS/SK/1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan SK Menkes Nomor 085/Men-kes/Per/I/1989 tentang Penulisan Obat Generik di Instansi Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah, Pasal 8 ayat 2-C pasal 9 ayat 1-4
- Persyaratan akreditasi pelayanan farmasi RS
Tujuan pelayanan Kefarmasian satu pintu
1.      Optimalisasi cakupan pelayanan obat gawat darurat, resep rawat jalan umum, rawat jalan Askes, rawat inap umum/Askes, obat operasi dan pelayanan obat masyarakat miskin.
2.      Meminimalisasi pemberian obat yg tidak tepat waktu, dan meminimalisasi medication error.
3.      Pasien safety 
4.      Peningkatan pelayanan asuhan kefarmasian.
5.      Optimalisasi pendapatan farmasi sehingga pendapatan RS meningkat & kesejahteraan pegawai RS bertambah.
6.      Sebagai salah satu sarana memperbaiki citra RS.
Sistem Pelayanan satu Pintu
1.      Sistem dimana Instalasi Farmasi RS memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan perbekalan farmasi.
2.      Berkewajiban mengelola obat secara berdaya guna dan berhasil guna.
3.      IFRS diharuskan membuat prosedur perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan pemantauan obat yang digunakan di rumah sakit.
4.      IFRS bertanggung jawab terhadap obat yang beredar di RS.
5.      Berkewajiban melaksanakan pengendalian pelayanan dan pemantauan penggunaan obat di rumah sakit.
6.      Apabila dalam pendanaan pengadaan obat melibatkan pihak ke tiga, maka tata kerja dan teknis layanan kefarmasian harus di bawah koordinasi IFRS.
7.      Satu kebijakan (kriteria pemilihan obat, penerapan sistem formularium).
8.      Satu sop (prosedur instruksi kerja, pelayanan).
9.      Satu pengawasan operasional (laporan rutin, money, koordinasi)
10.  Satu sistem informasi (sim, informasi logistik, informasi obat)
Keuntungan pelayanan farmasi satu pintu yaitu :
1.      Memudahkan monitoring obat
2.      Dapat mengetahui kebutuhan obat secara menyeluruh sehingga memudahkan perencanaan obat.
3.      Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian.
4.      Dapat dilaksanakannya pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua ruang rawat.
5.      Dapat dilaksanakan pelayanan informasi obat dan konseling obat baik bagi pasien rawat jalan maupun rawat inap.
6.      Dapat dilaksanakan monitoring efek samping obat oleh panitia dan terapi.
7.      Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di RS, baik obat generik, obat formularium, obat Askes dan lain-lain sesuai dengan program IFRS serta PFT.

Selasa, 06 Oktober 2015

Panitia Farmasi Terapi


A.  Panitia Farmasi Terapi (PFT).
1.    Definisi
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) menurut Menteri Kesehatan RI No. 1197/Menkes/SK/X/2004 adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara staf medik dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spasialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari farmasi rumah sakit, serta tenaga kesehatan lain.Tujuan Panitia Farmasi dan Terapi adalah:
a.    Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat, dan evaluasi obat.
b.    Melengkapi staf profesional dibidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai kebutuhan (DepKes RI, 2004)
2.    Struktur Organisasi PFT
Susunan kepanitian Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang dilakukan bagi setiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat, antara lain sebagai berikut:
a.    Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) dokter, apoteker dan perawat.
b.    Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah ahli farmakologi tersebut. Sekretaris panitia farmasi dan terapi adalah seorang apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.
c.    Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit yang besar rapat diadakan setiap satu bulan sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Panitia Farmasi dan Terapi.
d.   Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT (Panitia Farmasi dan Terapi) diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.
e.    Panitia farmasi dan terapi membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat (DepKes RI, 2004).
Menurut Charles Siregar (2004) dalam bukunya Farmasi Rumah Sakit menyebutkan bahwa keanggotaan PFT terdiri dari 8-15 orang. Semua anggota tersebut mempunyai hak suara yang sama. Di rumah sakit umum besar (misalnya kelas A dan B) perlu diadakan suatu struktur organisasi PFT yang terdiri atas keanggotaan inti yang mempunyai hak suara, sebagai suatu tim pengarah dan pengambil keputusan. Anggota inti ini dibantu oleh berbagai subpanitia yang dipimpin oleh salah seorang anggota inti. Anggota dalam subpanitia adalah dokter praktisi spesialis, apoteker spesialis informasi obat, apoteker spasialis farmasi klinik, dan berbagai ahli sesuai dengan keahlian yang diperlukan dalam tiap subpanitia.
3.    Fungsi dan Ruang Lingkup Panitia Farmasi dan Terapi
Fungsi dan ruang lingkup panitia farmasi dan terapi adalah:
a.       Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan melakukan revisi. Pemilihan obat yang dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara objektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama.
b.      Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis.
c.       Panitia Farmasi dan Terapi menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus.
d.      Panitia Farmasi dan Terapi membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturanperaturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
e.       Panitia Farmasi dan Terapi melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara rasional.
f.       Panitia Farmasi dan Terapi mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g.      Panitia Farmasi dan Terapi menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat (DepKes RI, 2004).



E. Kebijakan dan Peranan Khusus PFT
1.      Kebijakan Panitia Farmasi dan Terapi
a.       Pengusulan obat baru
Pengusulan obat baru harus diajukan dengan formulir permohonan untuk evaluasi  status formularium
b.      Menetapkan kategori obat
1)       OBAT FORMULARIUM
Obat yang direkomendasi sbg obat   esensial untuk perawatan pasien dan  ada di pasaran. Semua dokter boleh menulis obat ini.
2)      OBAT YANG DISETUJUI UNTUK PERIODE  PERCOBAAN
Obat yang sudah beredar di pasaran, tapi baru diusulkan masuk formularium dan perlu dievaluasi selama 3 atau 6 atau 12 bulan oleh PFT. Selama masa ini dokter boleh menulis obat ini, kemudian dievaluasi dan diputuskan diterima atau  ditolak.
3)      OBAT FORMULARIUM KHUSUS
Obat yang beredar di pasaran, direkomendasikan untuk pasien tertentu. Obat ini diterima rapat PFT atas usul anggota PFT atau dokter lain dan ditentukan siapa saja yang boleh menulis resep obat itu.
4)      OBAT UJI KLINIK (INVESTIGATIONAL DRUGS)
Obat ini belum beredar di pasaran, tapi oleh BPOM diijinkan dipakai oleh peneliti utama untuk Uji Klinik, dibawah tanggung jawab PFT
c.       Obat-obat yang tidak memenuhi kategori disebut obat Non formularium
Dapat ditulis oleh dokter dalam jumlah yang terbatas dan diberikan pada kondisi khusus dan kasus tertentu yanghanya dapat diberikan oleh anggota staf medik senior, dengan menggunakan blanko permohonan obat non formularium
d.      Blanko resep
e.       Menetapkan kebijakan dalam dispensing
f.       Mengadakan ketentuan dan peraturan untuk menentukan Perwakilan perusahaan Farmasi
g.      Penarikan obat
h.      Mengusuaturan untuk order obat bagi Penderita Rawat Jalan

2.      Peranan Khusus Panitia Farmasi dan Terapi
a.       Menentukan “Automatic Stop Order” untuk obat berbahaya Contoh : narkotik, sedatif, hipnotik, antikoagulan
b.      Membuat daftar obat emergensi
c.       Membuat program pelaporan ESO
d.      Melaksanakan pengkajian penggunaan obat (DUS)
e.       Membantu klinisi untuk memilih obat yang paling efektif, aman, ekonomis (POSR) 

Daftar Obat Esensial Nasional 2013 (click here)